Senin, 30 Januari 2012

Je T’Attends


"Raya.. aku butuh bantuan kamu."
          "Kenapa Na?" perlahan Soraya menutup buku yang sedang dibacanya sambil melepas kacamata.
          Kelas lebih sepi dari biasa, kesempatan yang jarang datang dua kali. Nina terlihat gundah, berkali-kali ia melirik ke kanan-kiri untuk memastikan tak ada orang lain yang mencuri dengar.
          Pandangan  mata itu tak akan bisa dilupakan Soraya, penuh dengan kebingungan namun terlihat ada kerinduan di dalamnya.
          "Aku sering dengar cerita teman-teman kalau kamu punya insting yang kuat, maksud aku.. kamu bisa mengerti hal-hal yang mungkin enggak semua orang bisa mengerti," jelas Nina, takut-takut mengutarakan maksudnya.
          Soraya tertawa pelan," Jangan ngaco, kalau soal cowok sih.."
          "Bukan!" tukas Nina.
          Soraya terdiam, matanya tak lepas dari bola mata Nina yang kecokelatan.
          "Aku selalu mimpiin kata-kata itu, Raya..." nada suaranya terdengar lirih, "Aku serius, yang aku cerita di telepon semalam. Aku bahkan enggak ngerti apa artinya, tapi seakan terus berputar di kepala aku."
          Napas Nina semakin tidak teratur, terdengar berat tapi ia masih terus berbicara ,"je t'attends....."
          Soraya terdiam, ia terhenyak dengan nada lirih yang terdengar dalam suara Nina.

          Rhone-Alpes, Juni 1940.
          Seorang gadis berdiri memandang hamparan padang lavender. Ia  menjatuhkan dirinya pada sejumput rumput ilalang tinggi, sambil merebahkan diri. Jauh di ujung cakrawala terlihat sebagian kecil dari pegunungan Alpen yang membentang sejauh jarak mata memandang, dikeliling hutan cemara sepanjang bataran sungai yang melewatinya.
          Hembusan angin membelai lembut wajahnya. Ia menghela napas, memutar kembali memori yang tersimpan di dalam benaknya.

***
          "Lucille, je t'aime. Aku cinta padamu...."
          Saat itu musim semi. Namun hati Lucille seakan masih diselimuti salju. Di hadapannya berdiri seorang laki-laki berseragam militer berwarna coklat, sambil memegang baret ditangannya. Biarpun ia berkata cinta padanya, Lucille tahu itu adalah ucapan selamat tinggal.
          Lucille memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan air mata yang sudah tergenang di pelupuk mata. Ia menatap kaki laki-laki itu, menghindari tatapan matanya yang hanya akan membuat Lucille terluka.
          "Pierre-Louis.." Lucille berbisik pelan.
          Perlahan Pierre-Louis berjalan mendekat, ia tak sanggup memeluk Lucille. Matanya hanya bisa menatap wajah Lucille yang kemerahan menahan rasa sedih. "Lulu, ini tidak akan lama," ujar Pierre-Louis.
          "Darimana kamu tahu? Tanya Lucille.
          "Pasukan Perancis kuat, Lulu. Tidak akan jatuh semudah itu," kata Pierre-Louis berusaha meyakinkan Lucille.
          Setengah tidak percaya, Lucille memandang Pierre-Louis, melihat ada sorot keraguan di dalam matanya. Namun, Lucille tidak membantah walaupun ia sudah dengar kabar mngenai kekuatan pasukan Jerman yang jauh lebih kuat.
          "Jangan khawatir, Lulu. Kami juga mendapat bantuan dari sekutu..." tambah Pierre-Louis berusaha mmbujuk.
          Lucille masih juga tidak berbicara, ia memandang keluar jendla. Rumput-rumpt ilalang bergoyang-goyang seiring hembusan angin, menerbangkan kelopak bunga kering. Di luar banyak laki-laki bernasib sama seperti Pierre-Louis. Mereka, para serdadu Prancis, diiringi keluarganya sedang bersiap berangkat untuk membela Negara.
          "Lulu, aku akan pulang. Aku janji," ujar Pierre-Louis.
          Kali ini Pierre-Louis memberanikan dirinya untuk memeluk Lucille dari belakang. Lucille masih terdiam, ia menyandarkan kepalanya pada bahu Pierre-Louis. Beberapa saat mereka seakan terjebak dalam satu situasi yang kaku, sampai akhirnya Lucille berkata dengan suaranya yang lirih, "Je t'attends, mon cher. Aku menunggumu, sayang."

***

          "Nin, aku juga enggak tahu yang kamu bilang itu artinya apa! Bahasa apa aku juga enggak tahu, anggaplah kembang tidur seperti biasanya, "saran Soraya.
           Nina kelihatan tidak puas.
          Ia berusaha memikirkan kata-kata Soraya, yang memang ada baiknya. "Mungkin memang lebih baik kalau aku lupakan saja, toh sepertinya juga bukan pertanda apa pun," batin Nina.
          Nina bangun dari kursinya, dan berjalan keluar. Begitu ia sampai di pintu, ia berpapasan dengan seseorang. Laki-laki yang jauh lebih tinggi dari dirinya, berjalan masuk k dalam kelas sambil merangkul perempuan. Nina menahan napas, ia tahu orang yang berada di hadapannya itu. Matanya menatap orang itu dengan pandangan tidak suka.
          "Permisi," kata yang laki-laki.
          "Pintu kelas memang sempit kalau masuk sekaligus berdua." ujar Nina dengan nada menantang, "Iya kan, Alvin?"
          Alvin sama sekali tidak menggubris perkataan Nina.
          "Kamu mau tungguin aku di sini?" Tanya Alvin ke perempuan yang dirangkulnya, "Julie?"
          Julie hanya membalas dengan tawa centil, "Aah..malas, Vin! Aku ke kantin saja ya sama yang lain." Ia melepaskan lengan Alvin dari bahunya, lalu beranjak keluar sambil menyenggol bahu Nina dengan sengaja.
          Nina terdorong ke belakang, tanpa sadar Alvin berusaha memegangi Nina, tapi dengan seketika Nina menjauhkan tubuhnya dari jangkauan Alvin. Mereka berdua sama sekali tidak berbicara, hanya pandangan mata saja yang berbicara mengenai perasaan mereka yang mereka pndam sejak lama.

***

          Malam terus berganti, waktu tidak pernah berhenti. Tanpa terasa rasa rindu yang disimpan Lucille dalam hatinya serasa membludak. Segala berita yang didengarnya mengenai perang semakin membuat Lucille ketakutan. Takut jika ia tidak akan bertemu dengan Pierre-Louis lagi.
          Di dalam kamarnya yang hanya diterangi sebatang lilin, Lucille mengeluarkan secarik kertas. Sebelum ia mulai menulis, Lucille memastikan bahwa seisi rumahnya sudah terlelap.
          Ia membuka pintu kamarnya dan melihat pintu kamar kakaknya, Sabrine, sudah tertutup. Bergegas ia kembali ke meja tulisnya, menulis surat untuk Pierre-Louis.
          Cher Pierre-Louis,
          Aku tak bisa bicara banyak. Aku takut Pierre-Louis, Sabine bahkan melarangku pergi ke Lyon. Ia bilang serdadu Jerman ada di mana-mana. Apakah Prancis akan menang? Pulanglah Pierre-Louis. Aku sangat ketakutan. Aku hanya ingin melihatmu lagi.
          Je t'attends.
Lulu
          Setetes air mata jatuh di atas permukaan kertas yang ditulisnya.

***

          Lucille tersadar dari lamunannya.
          Ia merasakan semilir angin yang berhembus mnerpa wajahnya. Rumput-rumput yang ditidurinya terasa menggelitik, bau lavender tercium wangi, gumpalan awan putih melayang-layang di langit. Harusnya hari ini begitu indah, tapi perasaan Lucille begitu resah entah apa yang telah mengusiknya.
          Hanya bayang-bayang Pierr-Louis yang ada di benaknya.
          Je t'attends. Pierre-Louis...
          "Lucille!" seorang gadis berlari menelusuri jalan setapak.
          Ia membawa sebuah amplop di tangannya, lalu ia berlutut di samping Lucille dan memeluk saudaranya itu erat-erat.
          "Sabine..."Lucille belum sempat berbicara, Sabine sudah menyela, "Prancis menyerah pada Jerman, Lulu.. Aku sudah dengar dari penduduk yang lain, kita kalah."
          Lucille tidak percaya apa yang didengarnya.
          "Ini..." Sabine mengendurkan tangannya, mnyodorkan amplop itu pada Lucille, "Tadi ada tentara yang datang dari kesatuan, dan membawakan ini..Pierre-Louis, dia..."
          Lucille tidak sanggup menerima surat itu, tanpa sadar air matanya turun deras mengaliri pipinya. Ia meremas surat itu kuat-kuat, sambil menundukkan kepalanya, Lucille mulai terisak-isak. Ia tidak perlu membaca isi surat itu lagi, ia sudah menyadari bagian dari hatinya telah menghilang.

***

          Beberapa saat Alvin sama sekali tidak mengalihkan bola matanya dari wajah Nina. Hanya beberapa detik berselang sampai Nina akhirnya memalingkan wajah dan beranjak keluar kelas meninggalkan Alvin dalam ketermanguannya.
          Alvin memperhatikan langkah Nina yang berjalan menjauh.
          "Tadi kamu SMS aku katanya ada perlu, apaan Vin?"tanya Soraya tiba-tiba.
          Alvin menoleh, raut wajahnya masih tidak brubah. Matanya kosong, tapi cukup sadar akan tujuannya. "Iya, ada yang mau aku tanya," jawab Alvin.
          Soraya membereskan buku-buku yang bertumpuk di mejanya. Alvin kemudian berjalan mendekat dan duduk di samping Soraya. Cukup lama Alvin tidak memulai perkataannya, sampai Soraya menebak, "Kamu mau nanya hal-hal mistis sama aku?"
          Yang ditanya justru tertawa, "Enggak kok, aku cuma mau nanya sesuatu... kamu kan sering cerita arti mimpi sama cewek-cewek kalau lagi ngumpul, kadang-kadang aku sering dengar. Jadi aku juga mau tanya sesuatu."
          Soraya mengangguk mengerti, "Sudah aku duga."
          "Tolong rahasiakan dari Julie," pintua Alvin. "Tadinya aku enggak mau tanya hal seremeh ini, tapi kayaknya mimpi aku sudah sedemikian menggangu sampai aku enggak bisa tidur beberapa terakhir..."
          "Hoo...gangguan akut nih ceritanya? Kenapa enggak pakai obat tidur saja," ledek Soraya sambil terkekeh. Tapi Alvin sama sekali tidak tertawa," kamu mimpi apa,Vin?" tanya Soraya.
          "Di dalam mimpi aku...aku dengar seseorang berbisik di benak aku berkali-kali," Mata Alvin menerawang mengingat-ingat." Dia bilang... je t'attends... je t'attends... seperti itu".
          Soraya menoleh, me.mandang Alvin dengan tajam seolah tidak percaya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar