"Raya..
aku butuh bantuan kamu."
"Kenapa Na?" perlahan Soraya menutup buku yang sedang dibacanya sambil
melepas kacamata.
Kelas lebih sepi dari biasa, kesempatan yang jarang datang dua kali. Nina
terlihat gundah, berkali-kali ia melirik ke kanan-kiri untuk memastikan tak ada
orang lain yang mencuri dengar.
Pandangan mata itu tak akan bisa dilupakan Soraya, penuh dengan
kebingungan namun terlihat ada kerinduan di dalamnya.
"Aku sering dengar cerita teman-teman kalau kamu punya insting yang kuat,
maksud aku.. kamu bisa mengerti hal-hal yang mungkin enggak semua orang bisa mengerti,"
jelas Nina, takut-takut mengutarakan maksudnya.
Soraya tertawa pelan," Jangan ngaco, kalau soal cowok sih.."
"Bukan!" tukas Nina.
Soraya terdiam, matanya tak lepas dari bola mata Nina yang kecokelatan.
"Aku selalu mimpiin kata-kata itu, Raya..." nada suaranya terdengar
lirih, "Aku serius, yang aku cerita di telepon semalam. Aku bahkan enggak
ngerti apa artinya, tapi seakan terus berputar di kepala aku."
Napas Nina semakin tidak teratur, terdengar berat tapi ia masih terus berbicara
,"je t'attends....."
Soraya
terdiam, ia terhenyak dengan nada lirih yang terdengar dalam suara Nina.
Rhone-Alpes, Juni 1940.
Seorang gadis berdiri memandang hamparan
padang lavender. Ia menjatuhkan dirinya pada sejumput rumput ilalang
tinggi, sambil merebahkan diri. Jauh di ujung cakrawala terlihat sebagian kecil
dari pegunungan Alpen yang membentang sejauh jarak mata memandang, dikeliling
hutan cemara sepanjang bataran sungai yang melewatinya.
Hembusan angin membelai lembut wajahnya. Ia menghela napas, memutar kembali
memori yang tersimpan di dalam benaknya.
***
"Lucille, je t'aime. Aku cinta padamu...."
Saat itu musim semi. Namun hati Lucille seakan masih diselimuti salju. Di
hadapannya berdiri seorang laki-laki berseragam militer berwarna coklat, sambil
memegang baret ditangannya. Biarpun ia berkata cinta padanya, Lucille tahu itu
adalah ucapan selamat tinggal.
Lucille memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan air mata yang sudah
tergenang di pelupuk mata. Ia menatap kaki laki-laki itu, menghindari tatapan
matanya yang hanya akan membuat Lucille terluka.
"Pierre-Louis.." Lucille berbisik pelan.
Perlahan Pierre-Louis berjalan mendekat, ia tak sanggup memeluk Lucille.
Matanya hanya bisa menatap wajah Lucille yang kemerahan menahan rasa sedih.
"Lulu, ini tidak akan lama," ujar Pierre-Louis.
"Darimana kamu tahu? Tanya Lucille.
"Pasukan Perancis kuat, Lulu. Tidak akan jatuh semudah itu," kata
Pierre-Louis berusaha meyakinkan Lucille.
Setengah tidak percaya, Lucille memandang Pierre-Louis, melihat ada sorot
keraguan di dalam matanya. Namun, Lucille tidak membantah walaupun ia sudah
dengar kabar mngenai kekuatan pasukan Jerman yang jauh lebih kuat.
"Jangan khawatir, Lulu. Kami juga mendapat bantuan dari sekutu..."
tambah Pierre-Louis berusaha mmbujuk.
Lucille masih juga tidak berbicara, ia memandang keluar jendla. Rumput-rumpt ilalang
bergoyang-goyang seiring hembusan angin, menerbangkan kelopak bunga kering. Di
luar banyak laki-laki bernasib sama seperti Pierre-Louis. Mereka, para serdadu
Prancis, diiringi keluarganya sedang bersiap berangkat untuk membela Negara.
"Lulu, aku akan pulang. Aku janji," ujar Pierre-Louis.
Kali ini Pierre-Louis memberanikan dirinya untuk memeluk Lucille dari belakang.
Lucille masih terdiam, ia menyandarkan kepalanya pada bahu Pierre-Louis.
Beberapa saat mereka seakan terjebak dalam satu situasi yang kaku, sampai
akhirnya Lucille berkata dengan suaranya yang lirih, "Je t'attends, mon
cher. Aku menunggumu, sayang."
***
"Nin, aku juga enggak tahu yang kamu bilang itu artinya apa! Bahasa apa
aku juga enggak tahu, anggaplah kembang tidur seperti biasanya, "saran
Soraya.
Nina kelihatan tidak puas.
Ia berusaha memikirkan kata-kata Soraya, yang memang ada baiknya. "Mungkin
memang lebih baik kalau aku lupakan saja, toh sepertinya juga bukan pertanda
apa pun," batin Nina.
Nina bangun dari kursinya, dan berjalan keluar. Begitu ia sampai di pintu, ia
berpapasan dengan seseorang. Laki-laki yang jauh lebih tinggi dari dirinya,
berjalan masuk k dalam kelas sambil merangkul perempuan. Nina menahan napas, ia
tahu orang yang berada di hadapannya itu. Matanya menatap orang itu dengan
pandangan tidak suka.
"Permisi," kata yang laki-laki.
"Pintu kelas memang sempit kalau masuk sekaligus berdua." ujar Nina
dengan nada menantang, "Iya kan, Alvin?"
Alvin sama sekali tidak menggubris perkataan Nina.
"Kamu mau tungguin aku di sini?" Tanya Alvin ke perempuan yang
dirangkulnya, "Julie?"
Julie hanya membalas dengan tawa centil, "Aah..malas, Vin! Aku ke kantin
saja ya sama yang lain." Ia melepaskan lengan Alvin dari bahunya, lalu
beranjak keluar sambil menyenggol bahu Nina dengan sengaja.
Nina terdorong ke belakang, tanpa sadar Alvin berusaha memegangi Nina, tapi
dengan seketika Nina menjauhkan tubuhnya dari jangkauan Alvin. Mereka berdua
sama sekali tidak berbicara, hanya pandangan mata saja yang berbicara mengenai
perasaan mereka yang mereka pndam sejak lama.
***
Malam terus berganti, waktu tidak pernah berhenti. Tanpa terasa rasa rindu yang
disimpan Lucille dalam hatinya serasa membludak. Segala berita yang didengarnya
mengenai perang semakin membuat Lucille ketakutan. Takut jika ia tidak akan
bertemu dengan Pierre-Louis lagi.
Di dalam kamarnya yang hanya diterangi sebatang lilin, Lucille mengeluarkan
secarik kertas. Sebelum ia mulai menulis, Lucille memastikan bahwa seisi
rumahnya sudah terlelap.
Ia membuka pintu kamarnya dan melihat pintu kamar kakaknya, Sabrine, sudah
tertutup. Bergegas ia kembali ke meja tulisnya, menulis surat untuk
Pierre-Louis.
Cher Pierre-Louis,
Aku tak bisa bicara banyak. Aku takut Pierre-Louis, Sabine bahkan melarangku
pergi ke Lyon. Ia bilang serdadu Jerman ada di mana-mana. Apakah Prancis akan
menang? Pulanglah Pierre-Louis. Aku sangat ketakutan. Aku hanya ingin melihatmu
lagi.
Je t'attends.
Lulu
Setetes air mata jatuh di atas permukaan kertas yang ditulisnya.
***
Lucille tersadar dari lamunannya.
Ia merasakan semilir angin yang berhembus mnerpa wajahnya. Rumput-rumput yang
ditidurinya terasa menggelitik, bau lavender tercium wangi, gumpalan awan putih
melayang-layang di langit. Harusnya hari ini begitu indah, tapi perasaan
Lucille begitu resah entah apa yang telah mengusiknya.
Hanya bayang-bayang Pierr-Louis yang ada di benaknya.
Je t'attends. Pierre-Louis...
"Lucille!" seorang gadis berlari menelusuri jalan setapak.
Ia membawa sebuah amplop di tangannya, lalu ia berlutut di samping Lucille dan
memeluk saudaranya itu erat-erat.
"Sabine..."Lucille belum sempat berbicara, Sabine sudah menyela,
"Prancis menyerah pada Jerman, Lulu.. Aku sudah dengar dari penduduk yang
lain, kita kalah."
Lucille tidak percaya apa yang didengarnya.
"Ini..." Sabine mengendurkan tangannya, mnyodorkan amplop itu pada
Lucille, "Tadi ada tentara yang datang dari kesatuan, dan membawakan
ini..Pierre-Louis, dia..."
Lucille tidak sanggup menerima surat itu, tanpa sadar air matanya turun deras
mengaliri pipinya. Ia meremas surat itu kuat-kuat, sambil menundukkan
kepalanya, Lucille mulai terisak-isak. Ia tidak perlu membaca isi surat itu
lagi, ia sudah menyadari bagian dari hatinya telah menghilang.
***
Beberapa saat Alvin sama sekali tidak mengalihkan bola matanya dari wajah Nina.
Hanya beberapa detik berselang sampai Nina akhirnya memalingkan wajah dan
beranjak keluar kelas meninggalkan Alvin dalam ketermanguannya.
Alvin memperhatikan langkah Nina yang berjalan menjauh.
"Tadi kamu SMS aku katanya ada perlu, apaan Vin?"tanya Soraya
tiba-tiba.
Alvin menoleh, raut wajahnya masih tidak brubah. Matanya kosong, tapi cukup
sadar akan tujuannya. "Iya, ada yang mau aku tanya," jawab Alvin.
Soraya membereskan buku-buku yang bertumpuk di mejanya. Alvin kemudian berjalan
mendekat dan duduk di samping Soraya. Cukup lama Alvin tidak memulai
perkataannya, sampai Soraya menebak, "Kamu mau nanya hal-hal mistis sama
aku?"
Yang ditanya justru tertawa, "Enggak kok, aku cuma mau nanya sesuatu...
kamu kan sering cerita arti mimpi sama cewek-cewek kalau lagi ngumpul,
kadang-kadang aku sering dengar. Jadi aku juga mau tanya sesuatu."
Soraya mengangguk mengerti, "Sudah aku duga."
"Tolong rahasiakan dari Julie," pintua Alvin. "Tadinya aku
enggak mau tanya hal seremeh ini, tapi kayaknya mimpi aku sudah sedemikian
menggangu sampai aku enggak bisa tidur beberapa terakhir..."
"Hoo...gangguan akut nih ceritanya? Kenapa enggak pakai obat tidur
saja," ledek Soraya sambil terkekeh. Tapi Alvin sama sekali tidak
tertawa," kamu mimpi apa,Vin?" tanya Soraya.
"Di dalam mimpi aku...aku dengar seseorang berbisik di benak aku
berkali-kali," Mata Alvin menerawang mengingat-ingat." Dia bilang... je
t'attends... je t'attends... seperti itu".
Soraya menoleh, me.mandang Alvin dengan tajam seolah tidak percaya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar