SHEIRA VS
LINGKAN
"Lihat
deh gelang aku ini!" Sheira sengaja berkata demikian dengan suara keras
agar Lingkan yang sedang duduk di bangkunya dapat mendengar perkataan itu.
"Bagus banget, Ra? Beli di mana sih?" Tanya Eci dengan wajah kagum.
"Di butik langganan aku, dong. Limited edition, makanya harganya mahal
banget," cerita Sheira, masih dengan suara keras.
"Halah...gelang bgitu doing! Paling belinya di pedagang kaki lima,"
ujar Lingkan dari bangkunya.
Sheira enggak terima saat Lingkan berkata seperti itu tentang gelangnya. Sheira
segera menghampiri bangku Lingkan dengan langkah kesal.
"Maksud kamu apa sih, Ling? Bilang saja kamu iri gara-gara enggak punya
gelang kayak gini!" semprot Sheira.
"Buat apa iri? Gelang kampong begitu saja, kok!" balas Lingkan dngan
senyum sinis.
***
"Aku kesal banget deh sama anak itu!" curhat Sheira pada anggota
D'Cute lainnya saat mereka sedang makan bersama di kantin.
"Memangnya hari ini kalian ada masalah apa lagi, sih?" Tanya Mona.
"Lihat gelang aku ini. Aku beli mahal-mahal di butik langganan aku. Tahu
kan?" Sheira menunjukkan gelang baru itu pada teman-temannya. "Kamu
tahu enggak? Si Lingkan sialan itu seenaknya saja ngatain gelang ini gelang
murahan yang dibeli di pedagang kaki lima! Padahal gelang ini aku beli
mahal-mahal. Limited edition lagi," cerita Sheira.
"Ha..ha..ha.. Kamu tabah saja deh, Ra!" kata Tania.
"Bagaimana aku bisa tabah menghadapi makhluk nyebelin semacam dia?!"
Sheira nyaris menjerit saking depresinya.
"Tapi aku heran deh sama anak itu. Ngapain sih dia selalu mengikuti gaya
fashion Sheira? Sheira pakai ini, dia pasti ikut-ikutan. Sheira pakai itu,
pasti diikutin lagi. Aku berani taruhan, pasti enggak lama lagi dia bakal
ikut-ikutan beli gelang yang mirip sama gelang kamu itu," kata Mona.
"Kamu keren kali, Ra!" canda Tania.
"Diam kamu Tan! Kamu enggak ngerti sih betapa menderitanya aku sekelas
dengan anak itu selama dua tahun berturut-turut! Waktu kelas X sih mendingan,
aku sekelas juga dengan kalian. Sekarang aku sekelas dengan si Lingkan
sendirian," curhat Sheira dengan tampang yang enggak menunjukkan semangat
hidup.
"Tapi menurut aku sih bagus juga persaingan antara kamu dan Lingkan.
Misalnya dalam hal akademik. Nilai-nilai kamu jadi bagus banget, kan? Soalnya
kamu takut tersaingi oleh Lingkan, makannya kalau ada ulangan kamu selalu
belajar gila-gilaan," ujar Belinda.
"Aku enggak peduli! Pokoknya aku benci banget sama Lingkan!" jerit
Sheira dengan nada tertahan.
"Be patient, girl," kata Tania lagi.
***
"Wah... Ra, sepatu kamu keren banget!" komentar Eci sambil menatap
sepatu baru Sheira dengan tatapan iri.
"Iya, lucu, kan? Aku beli di distro yang baru dibuka di Plangi,"
cerita Sheira bangga. Sekilas ia sempat melihat ke arah Lingkan yang teryata
sedang memerhatikan Converse ungu bunga-bunga miliknya.
"pasti mahal, yah? Converse asli sih," guman Eci lagi.
"He he he... Iya, sih. Lumayan, harganya lima ratus ribu-an," pamer
Sheira lagi.
"Wah, itu sih uang jajan aku satu bulan. Mahal banget, Ra. Memangnya kamu
enggak sayang uang segitu Cuma habis buat beli sepatu?" Tanya Eci lagi.
"Engga apa-apalah. Lagipula aku memang suka dengan sepatu ini."
Sheira tersenyum puas saat melihat wajah Lingkan yang cemberut saat memandangi
sepatunya.
***
" Kamu kenapa, Ra? Datang-datang kok muka kamu kusut banget? Lingkan
ngapain kamu lagi?" Tanya Belinda pada Sheira yang baru duduk di salah
satu bangku dekat Mona.
"Lingkan! Anak itu benar-benar copycat kelas paus!" maki
Sheira dengan tatapan penuh emosi pada sepatu Converse kebanggaanya.
"Kak Sheira, sepatunya kok mirip sepatunya Kak Ling-" Sheira segera
memelototi seorang adik kelasnya yang buru-buru kabur dan tidak jadi meneruskan
kalimatnya saat melihat tatapan mata Sheira yang benar-benar mengerikan.
"Ha ha ha... Oke, kamu enggak cerita juga aku sudah mengerti
permasalahannya sekarang. Jadi Lingkan pakai sepatu yang sama lagi dengan
sepatu baru kamu itu? Kasihan banget sih kamu, Ra?" tawa Mona dengan wajah
prihatin terhadap sahabatnya itu.
"Eh, panjang umur! Baru diomongin, orangnya langsung muncul!" Tania
mengarahkan pandangan ke arah Lingkan yang baru masuk ruang kantin dengan penuh
percaya diri. Sheira menatap sepatu Lingkan dengan tatapan bengis.
"Ling, sepatu kamu kembaran dengan sepatu Sheira, ya?" canda Tio pada
Lingkan yang baru duduk di salah satu kursi yang tidak terlalu jauh dari tempat
Sheira CS duduk.
Lingkan hanya menjawab ucapan Tio tersebut sambil menunjukkan senyum cool
khasnya.
"Tuh, si Lingkan saja enggak ngamuk-ngamuk kayak kamu waktu digodain
gara-gara sepatunya kembaran, kok," kata Tania sambil sibuk menghabiskan
nasi gorengnya.
"Tan, kamu itu sebenarnya ada di pihak aku atau di pihaknya Lingkan the
copycat itu, sih?" sheira menatap Tania dengan tatapan penuh emosi,
sedangkan Tania membalas Sheira dengan tatapan sok innoncent andalannya.
"Aku di pihak kamu kok," jawab Tania.
Lingkan berjalan menuju mesin pendingin minuman. Tapi sepertinya Lingkan
sengaja berjalan melewati meja tempat Sheira CS berkumpul. Dan entah mengapa,
Sheira merasa kalau Lingkan terlalu "membuat-buat" langkahnya untuk
memamerkan sepatunya.
"Serius, Ra. Aku juga sebal dengan cara jalan Lingkan yang sok banget itu.
Menurut kamu, kalau sepatunya aku rusakin gimana?" Tanya Belinda pada
Sheira.
"Senang? Aku bukan hanya senang, aku bakal bahagia."
Sementara itu Lingkan berjalan kembali menuju bangku tempatnya duduk setelah
membeli sebuah minuman kaleng.
"Hai, Ling," Belinda berdiri dan menghadang langkah Lingkan saat ia
hendak melewati meja Sheira CS.
"Eh?" Lingkan memasang tampang heran saat melihat senyum Belinda.
Belinda mengambil gelas berisi es jeruk miliknya yang masih tersisa setengah,
kemudian menumpahkannya tepat ke atas sepatu Lingkan. "Sori Ling, aku
enggak sengaja," kata Belinda dengan tampak (sok) merasa bersalah.
"Kamu maunya apa sih?!" Tanya Lingkan dengan suara melengking.
"Aduh Ling," Mona berdiri dari tempatnya duduk kemudian ikut-ikutan
menumpahkan bumbu sate yang sudah habis ia makan ke atas sepatu Lingkan.
"Hiks...aku enggak sengaja juga," Mona memasang tampang pura-pura
menangis.
"Wow, Ling," Sheira berdiri di samping Mona, kemudian menginjak
sepatu baru Lingkan. "Sepatu kamu bagus banget," kata Sheira dengan
senyum penuh kemenangan.
"KALIAN SEMUA KENAPA SIH?!" teriak Lingkan geram. Ia segera berlari
meninggalkan Sheira CS yang tertawa bahagia.
"Ha ha ha.. We win, girls!" kata Sheira sambil memegang perutnya yang
mulai sakit karena terlalu banyak tertawa.
***
"Lingkan ke mana, Ci? Kamu tahu enggak?" Tanya Sheira pada teman
sebangkunya itu.
"Kamu enggak tahu? Tadi waktu jam istirahat, aku lihat Lingkan
nangis-nangis lalu mengambil tas, kayaknya mau pulang duluan," cerita Eci
sambil terus membaca komik yang ia pinjam dari Cherryl.
"Nangis?" ulang Sheira enggak percaya. Tiba-tiba hatinya diliputi
perasaan bersalah.
"Eh, tapi tadi aku juga lihat sepatunya Lingkan kotor banget. Kenapa ya?"
gumam Eci lagi. Sheira hanya tersenyum getir.
***
"Anak-anak, ada yang tahu tidak, kenapa selama tiga hari belakangan ini
Lingkan tidak masuk sekolah?" Tanya Bu Helga setelah selesai mengabsen
murid-murid di kelas XI-IPA 1 itu.
"Enggak tahu, Bu," jawab Angga.
"Ya sudah, kalau ada yang tahu tolong beritahu ibu, yah. Ibu jadi
khawatir, soalnya tumben-tumbenan Lingkan tidak masuk sekolah tanpa
kabar," kata Bu Helga lagi.
"Aku harus ke rumah Lingkan. Bagaimana kalau Lingkan kenapa-kenapa?
Pasti aku yang disalahkan. Iya, aku harus ketemu Lingkan dan minta maaf ke
Lingkan," pikir Sheira dalam hati.
***
Pulang sekolah, Sheira langsung ngacir mencari rumah Lingkan. Tapi sekarang ia
malah merutuki diri sendiri karena nyasar di tempat yang sama sekali tidak ia
ketahui. Belum lagi pulsa HP-nya yang telah habis masa aktifnya.
"Neng, cari siapa?" Tanya seorang wanita setengah baya pada Sheira
yang sedang jalan mondar-mandir dengan tampang panik di gang kecil tersebut.
"Eh? Saya cari rumah teman saya Bu," kata Sheira dengan senyum miris.
"Teman? Nama teman Neng siapa?" Tanya ibu-ibu itu lagi.
"Eng...Lingkan. Lingkan Christantya."
"Oh, Lingkan? Dia anak saya," kata wanita itu ramah. "Ya sudah,
ayo ikut saya ke rumah saya."
Sheira merendengi langkah wanita tersebut dengan perasaan kikuk.
"Neng utusan dari sekolah Lingkan yang dikasih tugas nengokin Lingkan,
ya?" tebak ibu Lingkan.
"I-iya," jawab Sheira berbohong.
"Saya juga enggak tahu kenapa Lingkan tiba-tiba mogok sekolah. Kayaknya
sih dia dijahati temannya," cerita ibu Lingkan, semakin menambah perasaan
bersalah Sheira. "Pulang sekolah dia menangis terus di kamar sampai
ketiduran. Waktu bangun, dia terus-terusan melihat sepatu barunya dan berusaha
membersihkannya."
"Sepatu Converse ungu berbunga-bunga, ya?" tebak Sheira.
"Iya, dia beli sepatu itu dengan uang tabungannya yang ia tabung susah
payah," kata ibu Lingkan dengan mimic sedih.
Sheira terlalu sibuk dengan berbagai pikirannya sendiri hingga tidak menyadari
bahwa ia telah tiba di depan sebuah kios sederhana. Rumah Lingkan.
"Bu, ibu sudah pu-" Lingkan yang baru muncul dari dalam kios mendadak
Nampak tegang begitu melihat kedatangan Sheira.
"Ling, tadi ibu ketemu dengan teman kamu di jalan. Katanya dia mau
nengokin kamu, tuh. Ibu masuk dulu, ya. Kamu temani tuh teman kamu," kata
ibu Lingkan sebelum masuk ke dalam kios yang juga merupakan rumah Lingkan.
"H-hai, Ling," ujar Sheira terbata-bata.
"Kamu mau apa ke mari?" Tanya Lingkan dengan ekspresi dingin.
Benar-benar dingin.
"Aku mau minta maaf sama kamu, Ling. Trus me, aku benar-benar menyesal
sudah merusak sepatu kamu. Aku waktu itu memang kesal bangeet gara-gara
diledekin melulu soal sepatu kamu yang kembaran sama aku," ucap Sheira
dengan kepala menunduk.
"Hhhh..." Lingkan menghela nafas panjang. "Aku juga minta maaf,
Ra. Aku akui, selama ini aku memang sengaja meniru kamu. Gaya berpakaian kamu,
cara jalan kamu, semuanya," kata Lingkan sambil duduk di kursi panjang
yang sengaja diletakkan di depan kiosnya.
"Tapi kenapa, Ling?"
"Aku malu mengakuinya, tapi gaya kamu, cara kamu jalan, cara kamu bicara,
semuanya keren, Ra. Dan aku ngefans sama kamu," kali ini Lingkan yang
berbicara dengan wajah teertunduk malu.
"Kamu ngefans sama aku?" ulang Sheira enggak percaya.
"Iya, tapi terkadang aku juga kesal karena kamu suka menyindir aku di
hadapan anak-anak yang lain, makanya aku bertekad untuk mengalahkan kamu dalam
bidang akademik. Tapi aku kalah juga, ha ha ha..." Lingkan tertawa getir.
Sheira masih terdiam karena enggak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.
Bagaimana mungkin ia memperlakukan seseorang yang begitu memerhatikan dan
mengaguminya dengan perlakuan yang enggak baik?
"Ra, ibu dan bapak aku sudah lama beercerai," cerita Lingkan lagi.
"Bapak meninggalkan aku dan ibu dalam keadaan miskin. Untungnya ibu aku
adalah seorang wanita yang tidak mudah putus asa. Ia berusaha membiayai seluruh
keperluan aku sendirian. Makanya terjadang aku juga suka merasa bersalah pada
ibu saat aku minta dibelikan barang-barang mahal seperti punya kamu,"
tambah Lingkan.
"Serius kamu, Ling?"
"Iya, makanya aku membeli sepatu Converse seperti punya kamu itu dengan
uang tabungan yang susah-susah aku kumpulin. Tapi kamu dan teman-teman malah
merusak sepatu aku," Sheira bisa merasakan sedikit nada menyalahkan dalam
ucapan Lingkan barusan.
"Sori Ling," ucap Sheira sambil memandangi sepatu Converse miliknya.
"Ling, sepatu ini buat kamu saja deh," kata Sheira tiba-tiba sambil
melepas sepatunya.
"Aku enggak bisa terima sepatu dari kamu, Ra. Lagipula aku enggak minta
supaya kamu mengasihani aku kok," tolak Lingkan.
"Anggap saja ini permintaan maaf aku karena sudah merusak sepatu kamu,
Ling. Lagipula aku masih bisa membeli sepatu yang lain. Dan lagi.. aku merasa
senasib dengan kamu," kata Sheira.
"Senasib? Dalam hal apa?"
"Papa dan mama aku juga sudah lama bercerai. Mama sebenarnya istri kedua
papa. Saat papa dan istri pertamanya bertengkar hebat, papa menjalin hubungan
dengan mama aku. Kemudian, lahirlah aku. Tapi kemudian papa balik dengan istri
pertamanya," Sheira tersenyum sambil memandang wajah Lingan."
Untungnya papa aku orangtua yang bertanggung jawab. Walau sudah bercerai, papa
tetap ngasih uang bulanan ke mama dan aku. Dan untungnya lagi istri pertamanya
enggak melarang papa."
"Kamu benar-benar beruntung, Ra," komentar Lingkan.
"Ya, dan kamu tahu? Sampai beberapa menit yang lalu aku masih merasa kalau
aku adalah anak termalang sedunia karena hanya dibesarkan dengan satu orangtua.
Tapi setelah mendengar cerita kamu barusan, aku jadi belajar untuk lebih
bersyukur."
Sheira dan Lingkan sama-sama terdiam sambil memandangi matahari yang mulai
terbenam dari bangku panjang di depan kios Lingkan. Senja hari itu menjadi
saksi akhir perang dingin antara Sheira dan Lingkan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar