Pelit memang sifat burukku. Tapi ada lagi sifat buruk yang dari dulu ingin
kubasmi. Sebuah kebiasaan yang kelihatannya remeh namun sangat mmatikan,
berbohong.
Sungguh, aku tersihir ucapan Pak Ustad kala psantren kilat dulu. Hari itu juga
aku bertekad untuk berubah. Tiba-tiba saja turun hujan deras yang langsung
membuat lokasi pesantren banjir mendadak. Sepertinya langit pun
terharu mendengar niat suciku itu.
Dan seperti remaja lain, aku juga suka mencatat semua aktivitasku dalam buku
harian. Semua ulahku lengkap tercatat di situ. Di waktu senggang seperti
sekarang pun, aku kerap membacanya ulang. Entah untuk apa.
Kelas Omnivora, 23 Januari 2008
Hari ini seluruh keluargaku bangun kesiangan. Pukul tujuh pagi, kami berlarian
menuju tempat aktivitas masing-masing. Saat berlari tadi aku sempat berpikir,
alasan apa yang bisa membuat guru kimiaku melunak. Macet? Pak Omar tahu betul
rumahku di kompleks belakang sekolah ini. Tapi masak pagi-pagi gini sudah
bohong? Hmm... enggak apa-apa kali, ya? Kan lagi kepepet.
Dan akhirnya aku diperbolehkan masuk dengan alasan mutakhir, mencret-mencret.
Walau diiringi kerutan di kening Pak Omar plus tawa tertahan dari bangku
teman-teman, toh akhirnya aku diizinkan masuk. Setidaknya, alasanku jauh lebih
kreatif dibandingkan alasan Sobri, kebanjiran di tengah cuaca kemarau seperti
ini.
Kamar Bunda, 30
Februari 2008
Tuh kan... belum apa-apa sudah bohong lagi. Mana ada tanggal 30 Februari? Tapi
aku malas mengingat tanggal berapa sekarang. Soalnya ini HARI TERBURUK dalam
hidupku.
Sejam yang lalu aku dan Bunda dalam perjalanan pulang dari sebuah swalayan. Ada
obral kaus kaki besar-besaran di sana. Karena jalanan sepi, Bunda yang
kelihatannya terobsesi jadi pembalap itu memacu mobil dengan kencang. Aku yang
duduk di sebelahnya hanya mampu komat-kamit berdoa mohon keselamatan. Dan
sebelum doaku selesai, tiba-tiba terdengar bunyi melengking. Mobil berhenti
mendadak. Aku tahu ada yang enggak beres. Dan aku melihatnya sendiri. Kalau
ditulis di scenario film, beginilah percakapan singkat kami :
Bunda: Bon, (kependekan dari bontot) yang kita lewati tadi apaan?
Aku: Ituuu... polisi tidur, Bun.
Bunda: Yakin? Kok empuk-empuk gitu, ya? Bunda lihat dulu, deh.
Satu lagi dosaku yang tercatat. Tidak hanya satu. Tapi sekaligus dua.
Ngebohongin Bunda dan membiarkan kucing malang itu mati akibat tabrak lari.
Memang aku, sih, yang salah, lupa baca doa keselamatan untuk seluruh hewan yang
akan melintas di jalan raya itu. Dan sekarang? Aku maksa tidur bareng Bunda
karena takut digentayangin arwah kucing yang menuntut balas.
Loteng rumah, 11 April
2008
Tadi siang aku pulang bareng Bunda dengan diiringi omelan panjang kali lebar
kali siku-siku dan sudut, karena dapat nilai 51. Bunda terus menerus
bilang," Coba kamu contoh si Ajeng? Nilainya 90, Bon?"
Dan aku tambah memperkeruh kemarahan Bunda saat dengan polosnya
menyahut."Gimana mau contoh Ajeng, Bun? Kan dia duduknya di
belakang!"
Dan ketika aku kabur ke teras karena kesal dipaksa belajar untuk remedial
besok, tiba-tiba ada seorang bapak turun dari motornya. "Pizza
delivery!"
Pizza? Wow! Bunda baik banget! Dapet 51 saja dipesenin pizza. Apalagi
dapat 100? Tapi senyumku langsung sirna saat si Bapak menanyakan sebuah alamat.
Teryata pizza itu bukan milikku. Aku jadi makin kesal.
"Pak Ari ya?" Aku nyengir. Kali ini aku engga akan bohong. Cuma
iseng."Bapak lurus saja, terus belok kiri. Nanti lewati tiga lapangan bola
dan satu lapangan golf. Nah, habis itu puterin kuburan cina sambil nunduk ke
bawah."
Si Bapak langsung berenti mencatat."kenapa nunduk ke bawah segala?"
tanyanya heran. "lah, kalau dongak ke atas nanti kesandung pak?"
jawabku serius. "Nah, di sebelahnya ada rumah hijau. Rumah pak Ari tepat
di depannya."
Tadi aku memang masih bisa tersenyum puas. Tapi sekarang? Bunda menghukum
sekaligus menyelamatkanku dari amukan pengantar pizza setelah ia tahu bahwa
rumah Pak Ari benar-benar ada di depan rumah bercat hijau, milik keluarga kami.
Kantin
pelarian, 13 Mei 2008
Hari ini hari yang indah. Ada tiga pelajaran kosong, dan di jam matematika aku
dan Dinar izin ke toilet sebentar, lalu singgah ke kantin.
Seperti biasa, aku pesan nasi abon untuk makan siang. "ini nasi abonnya.
"Bon," ujar ibu kantin dengan muka ditekuk.'Bon' versi ibu kantin
adalah bon yang sebenarnya. Aku memang kerap ngebon nasi abon sama dia. Tapi
tidak untuk hari ini. Aku akan menyicil hutangku mulai sekarang.
"Bayarnya sekaligus saja, deh, Bon! Enggak usah nyicil segala!" Dia
malah bilang gitu saat aku menyodorkan dua keping seratusan sebagai angsuran
tahap pertama. Ah, ibu kantin terlalu emosi. Lagi datang bulan kali.
Hari ini aku
ulang tahun. Dan aku enggak akan menodai hari bersejarah ini dengan satu
kebohongan pun. Tapi tiba-tiba Dinar menjawilku sambil tersenyum, "Hey,
nanti jangan lupa traktir ya, Bon!"
Kelas Omnivora, 9 Juni 2008
Hari ini aku ulang tahun. Dan aku
enggan akan menodai hari bersejarah ini dengan satu kebohongan pun. Tapi
tiba-tiba Dinar menjawilku sambil tersnyum, "Hey, nanti jangan lupa
traktir ya, Bon!"
Aku gelagapan, lalu spontan menyahut, "Ya, dompetnya ketinggalan."
Dinar langsung kecewa. Dasar idiot! Kenapa bohong lagi, sih? Rusak deh hari
ini! Aku menampar-nampar pipiku sendiri sampai-sampai Dinar menyangka temannya
ini mendadak gila.
Tapi aku berprinsip, show must go on. Masih ada kesempatan untuk
membersihkan noda kebohongan yang aku ciptakan tadi pagi. Sambil memasang
tampang ceria, kuluruhkan semua sifat pelit dan kikir yang berkuasa di dada.
"Din, ternyata gue bawa dompet. Gue traktir lo makan!" Dinar langsung
sumringah. "Oya? Makan apa kita?" "Nasi Abon." Dinar malah
bengong.
Mataku terpicing. Tiba-tiba saja tulisanku tak terbaca lagi. Sebuah bayangan
besar menutupinya aku mendongak. Bu Citra berdiri di sampingku dengan wajah
galak. Cepat-cepat kututup catatan harianku, lalu menyambar buku matematika di
meja.
"Bonita! Apa yang kita pelajari hari ini?!!"
"Umm..." Aku membalik-balikan buku di tanganku dengan serius.
"Algoritma?"
Serentak terdengar gemuruh tawa dari seisi kelas. Bu Citra mendekatkan wajahnya
padaku. Matanya tampak menyala-nyala garang. "BONITA KAMU PASTI SALAH BAWA
BUKU!!"
Aku tersentak kaget. Segera kubaca judul buku itu. Waduh! Ini diktat kuliah Mas
Bona! Pantas berat...
"Ngg...anu, Bun..." Aku spontan menutup mulut Nyaris saja melupakan
perjanjian yang kami ikat sejak aku diterima di SMA ini. "Keterlaluan!
Cepat berdiri di depan kelas!" suara Bu Citra terdengar lagi. Aku
terkejut. Aku dihukum? Tapi... larangan nepotisme kan hanya berlaku pada nilai
dan soal, bukan hukuman!
Tapi Bu Citra malah melotot seram saat aku mencoba berargumen dengannya. Dengan
langkah gontai dan diiringi bisik-bisik serta tawa terkikik dari bangku murid,
aku berdiri di pojok kelas, sementara Bu Citra menerangkan sisa pelajaran
selama 15 menit, sebelum bel pulang berbunyi. Memalukan . Bunda harusnya puas
karena berhasil memamerkan keprofesionalannya sebagai guru. Baginya, semua yang
salah harus kena libas, tak peduli itu darah dagingnya sendiri.
"Bunda," ratapku bak Malin Kundang saat Bunda menggiringku masuk ke
ruang guru. Aku akan disidang empat mata olehnya. Hatiku bertambah cemas saat
kulihat ujung buku harianku tersembunyi dari balik saku blazernya. Sebentar
lagi semua borokku akan terbongkar.
"Bon, Bunda marah sama kamu. Pertama, kamu bikin Bunda malu karena salah
bawa buku. Itu kesalahan terkonyol sepanjang sejarah Bunda sebagai guru!"
Aku hanya menunduk. Bunda nyerocos lagi. "Kedua," ia menarik buku
harianku dari sakunya. "Ini kan buku catatan materi Bunda, Bon! Kenapa
kamu pakai?" Aku makin tertunduk. Buku harianku yang sebelumnya memang
sudah habis. Lihat buku kosong tergeletak di rumah, langsung saja aku sambar.
"Aduh, siapa yang mewarisi bengal kamu, Bon? Bunda sama Ayahmu waktu kecil
enggak pernah senakal ini," ujarnya lagi. Aku diam saja. Kali ini aku
berjanji tak akan meencari-cari alas an lagi. Toh Bunda akan tahu sendiri
jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan tadi jika ia membaca seluruh isi buku
harianku.
Bunda sudah kehabisan kata-kata. Ia menghela napas pendek. Awalnya aku
menyangka ia turut menyesal karena telah menularkan sel genetik yang membuatku
mempunyai sifat ajaib seperti ini. Tapi teryata dugaanku meleset 100%. "Ya
sudah, kamu pulang duluan sana. Bunda masih ada kerjaan. Oya, nanti kalau Bu RT
datang nagih duit arisan, bilang Bunda lagi tugas ke Jayapura, ya,"
bisiknya pelan sambil mulai membolak-balik buku harianku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar